Sabtu, 6 Ogos 2011

Keseimbangan Dan Kemudahan Dalam Islam, Ustadz Abu Ihsan Al Atsari


Islam adalah agama yg sejalan dg fitrah manusia. Allah memerintahkan manusia agar menghadapkan wajah kepada agamaNya semata. Allah berfirman.

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dg lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yg telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pd fitrah Allah. (Itulah) agama yg lurus; tetapi kebanyakan manusia tdk mengetahui. (Ar Rum: 30).

Maka setiap penyimpangan dari rel-rel agama berarti penyimpangan dari nilai-nilai fitrah manusia yg suci. Allah menurunkan agama sebagai pedoman hidup manusia bukan utk menyusahkan / menyengsarakan, tetapi utk menata kehidupan manusia di dunia & kebahagiaan di akhirat, mengatur mu'amalah (interaksi) mereka kepada Allah, hubungan antara sesama manusia, dg makhluk-makhluk lainnya, seperti: jin, malaikat, hewan serta dg alam sekitarnya. Islam telah mengatur ekosistem kehidupan menurut sunnatullah yg membawa berkah bagi semua. Bahkan keseimbangan tersebut sekaligus menunjukkan keindahan Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ إِلَّا تَذْكِرَةً لِّمَن يَخْشَىٰ

Kami tdk menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yg takut (kepada Allah). (Thaahaa:2-3).

Syaikh Abdurrahman As Sa'di menyatakan dalam tafsirnya (halaman 584, surat Thaahaa ayat 2-3): "Maksud diturunkannya wahyu & Al Qur'an kepadamu serta ditetapkannya syariat bukanlah utk membuat kamu sengsara. Tidak ada syariat yg memberatkan manusia & tdk mampu mereka kerjakan. Namun wahyu, Al Qur'an & syariat itu ditetapkan oleh Allah yg Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah jadikan sebagai pengantar kepada kebahagiaan, keberuntungan & kemenangan. Allah telah memudahkannya dg semudah-mudahnya & telah memudahkan seluruh jalan & pintu-pintunya. Allah menjadikannya sebagai nutrisi bagi hati & jiwa serta sebagai penyegar bagi tubuh mereka. Dapat diterima oleh fitrah yg lurus & akal yg sehat, karena mengetahui kandungannya, yaitu kebaikan dunia & akhirat. "

Memang benar-benar seimbang & mudah. Itulah karakter syari’at terakhir yg menghapus syari’at-syariat terdahulu. Seimbang dg hajat & kebutuhan manusia secara duniawi maupun ukhrawi & mudah utk dilakukan.

Sebagai contoh, kalau kita ingin mengangkat satu benda yg berat, bila kita angkat tepat pd titik keseimbangannya, maka akan mudah diangkat. Namun bila tdk tepat pd titik keseimbangannya, maka akan sulit diangkat. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjelaskan tentang kemudahan & keseimbangan ini dalam ayat-ayatNya. Di antaranya:

هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Allah sekali-kali tdk menjadikan utk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Al Hajj:78).

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, & tdk menghendaki kesukaran bagimu. (Al Baqarah:185).

Allah juga menjelaskan tentang keseimbangan dalam Islam dalam firmanNya:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yg adil. (Al Baqarah: 143)

Syaikh Abdurrahman As Sa'di dalam tafsirnya (hlm. 65 surat Al Baqarah 143) mengatakan: "Allah telah menjadikan umat ini wasath (pertengahan) dalam segala urusan agama. Pertengahan dalam mengimani para nabi, antara sikap berlebihan kaum Nasrani & kekurangajaran kaum Yahudi. Mereka mengimani seluruh nabi menurut prosedur yg layak. Pertengahan dalam syariat, tdk berlebih-lebihan seperti kaum Yahudi & tdk pula menyepelekan seperti kaum Nasrani. Demikian pula dalam masalah bersuci & makanan, tdk seperti Yahudi yg tdk boleh shalat kecuali di dalam sinagog mereka & tdk dapat menggunakan air utk menghilangkan najis, telah diharamkan atas mereka perkara-perkara yg baik sebagai bentuk hukuman bagi mereka. Dan tdk pula seperti Nasrani yg tdk mengenal najis & haram, bahkan mereka membolehkan segala sesuatunya. Tata cara bersuci kaum muslimin adalah yg paling sempurna. Allah menghalalkan bagi mereka segala makanan & minuman yg baik-baik, menyuruh mereka menutup aurat & menganjurkan pernikahan serta mengharamkan seluruh keburukan atas mereka. "

Dan dalam ayat lain Allah menjelaskan:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pd apa yg telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, & janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi & berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, & janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tdk menyukai orang-orang yg berbuat kerusakan. (Al Qashash: 77).

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini sebagai berikut: "Pergunakanlah karunia yg telah Allah berikan kepadamu berupa harta & kenikmatan yg berlimpah ini, utk mentaati Rabb-mu & mendekatkan diri kepadaNya dg berbagai bentuk ketaatan. Dengan itu, kamu memperoleh balasan di dunia & pahala di akhirat. Firman Allah "Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi”, yaitu dari apa-apa yg dibolehkan Allah berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal & pernikahan. Sesungguhnya Allah mempunyai hak atas dirimu. Jiwa ragamu juga mempunyai hak atas dirimu. Keluargamu juga mempunyai hak atas dirimu. Tamumu juga mempunyai hak atas dirimu. Maka berikanlah tiap-tiap hak kepada pemilikinya. "

Abdurrahman As Sa'di menjelaskan dalam tafsirnya (hlm. 731 surat Al Qashash ayat 77): "Yaitu, Kami tdk memerintahkanmu supaya menyedekahkan seluruh hartamu sehingga kamu menjadi terlantar. Namun bersedekahlah utk kemaslahatan akhiratmu & nikmatilah duniamu, tanpa merusak agama & akhiratmu. "

Oleh sebab itu, syariat melarang bersedekah dg seluruh harta sampai habis ludes sehingga mengakibatkan ia terpaksa meminta-minta kepada orang lain. Dan juga dilarang mewasiatkan lebih dari sepertiga harta.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga telah menjelaskan kepada kita, sebagaimana Abu Hurairah meriwayatkan sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ

Sesungguhnya agama ini sangat mudah. Dan tiada seseorang yg mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah. (HR Al Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan:

سَدِّدُوْا، وَقَارِبُوْا، وَاغْدُوْا وَرُوْحُوْا، وَشَيءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ؛ القَصْدَ القَصْدَ تَبْلُغُوْا

Sederhanalah dalam beramal, mendekatlah pd kesempurnaan, pergunakanlah waktu pagi & sore serta sedikit dari waktu malam. Bersahajalah, niscaya kalian akan sampai tujuan. (HR Al Bukhari).

Berkenaan dg hadits ini, Imam Al Bukhari telah menuliskan sebuah bab yg berjudul Ad Diin Yusr (Agama itu mudah).

Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan dalam Fathul Baari dalam bab tersebut: "yaitu, dinul Islam memiliki banyak kemudahan, / agama Islam disebut mudah dibanding dg agama-agama sebelumnya. Sebab, Allah telah menghilangkan beban atas umat ini yg dulu dipikulkan atas umat-umat sebelumnya. Sebagai contoh, taubat umat-umat terdahulu adalah dg mengorbankan jiwa, sedangkan taubat umat ini cukup dg menghentikan perbuatan, bertekad tdk mengulangi disertai penyesalan. "

Kemudian Ibnu Hajar menambah keterangannya dg mengutip dari Ibnul Munayyir yg berkata: “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi. Kita semua menyaksikan, bahwa setiap orang yg melampaui batas dalam agama pasti akan mandeg dalam beramal. Maksudnya, bukan tdk boleh mengejar ibadah yg lebih sempurna, sebab hal itu termasuk perkara yg terpuji. Perkara yg dilarang di sini adalah sikap berlebih-lebihan yg melahirkan kejemuan / kelewat batas dalam mengerjakan amalan sunnah, sehingga berakibat terbengkalainya perkara yg lebih afdhal (yang lebih baik). Atau menunda sebuah kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya, orang yg shalat tahajjud semalam suntuk, lalu tertidur sampai akhir malam sehingga terlewatkan shalat Subuh berjama'ah, / sampai keluar dari waktu yg afdhal, / sampai terbit matahari, sehingga keluar dari batas waktunya. Dalam hadits Mihzan bin Al Adra' yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

إِنَّكُمْ لَنْ تَنَالُوْا هَذَا الأَمْرَ بِالمُغَالَبَةِ، وَخَيْرَ دِيْنِكُمْ اليُسْرَةُ

"Kalian tdk akan dapat melaksanakan din (agama) ini dg memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yg mudah. "

Dari sinyalemen ini dapat dipetik kaidah wajibnya mengambil rukhshah (dispensasi) syariat. Melaksanakan azimah (ketentuan asal) pd saat diberikannya dispensasi merupakan bentuk memaksakan diri. Misalnya, orang yg tdk bertayammum tatkala ia tdk mampu menggunakan air, sehingga karena memaksakan diri menggunakan air ia mendapat mudharat. "
Dalam hadits lain, dari Abdullah bin Mas'ud Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

Binasalah orang-orang yg berlebih-lebihan. (HR Muslim).

Melalui hadits di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan kepada umat manusia, Islam adalah agama yg mengajarkan kesederhanaan & keseimbangan dalam ucapan & perbuatan. Melanggar batas-batas keseimbangan & berlebih-lebihan, akan berdampak negatif terhadap pelakunya. Ia akan terhenti di tengah jalan. Sebab, sikap tersebut akan membuatnya jenuh & bosan, & dapat menyebabkan ia mengabaikan kewajiban yg lebih utama / tertunda melaksanakannya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mencontohkan keseimbangan & kesederhanaan ini dalam realita kehidupan. Siapa saja yg menelaah sirah (sejarah) Beliau, pasti mendapati hal tersebut.

Pernah datang tiga orang menanyakan aktifitas ibadah Beliau di rumah. Mereka tdk bertemu dg Nabi, lantas mereka bertanya kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha tentang ibadah Beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah beliau itu hanya sedikit. (ibadah yg mereka kerjakan terlalu sedikit). Mereka berkata: "Dimanakah kedudukan kami dibanding dg Nabi!? Padahal beliau telah diampuni dosa-dosa beliau yg lalu maupun yg akan datang. "
Maka salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam terus menerus, tanpa tidur. "
Yang lain berkata: "Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka. "
Dan yg lain berkata: "Aku tdk akan menikah selama-lamanya. "
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Kaliankah yg mengatakan begini & begini? Adapun diriku, demi Allah, aku adalah orang yg paling takut & paling takwa kepadaNya, tetapi aku berpuasa, juga berbuka. Aku shalat & aku juga tidur & aku menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku. (Muttafaqun 'alaihi).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur keras tiga orang tadi, lantaran keinginan mereka utk keluar dari batas-batas keseimbangan & keadilan. Walaupun niat / tujuan mereka baik, yaitu meningkatkan kualitas diri, namun cara mereka salah. Cara tersebut akan mengeluarkan mereka dari garis fitrah yg lurus. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun langsung memberikan teguran & peringatan yg keras seraya berkata: "Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku. "

Itulah sebaik-baik hamba di sisi Allah, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu menceritakan: "Pernah Beliau tdk berpuasa dalam sebulan, sampai-sampai kami mengira Beliau tdk berpuasa pd bulan itu. Dan Beliau pernah berpuasa pd bulan lain, sampai-sampai kami mengira bahwa Beliau tdk pernah berbuka. Kalau engkau mau melihat Beliau shalat malam, niscaya engkau dapat melihatnya. Dan kalau engkau mau melihat Beliau tidur, niscaya engkau juga akan dapat melihatnya. " (HR Al Bukhari).

Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ الشَّيءِ أَصْنَعُهُ فَوَاللهِ إِنِّي لأَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً

Bagaimana halnya kaum-kaum yg menjauhkan diri dari sesuatu yg kulakukan? Demi Allah, aku adalah orang yg paling tahu tentang Allah & yg paling takut kepada-Nya. ” (Muttafaqun ‘alihi).

Dalam menjelaskan hadits ini, Ad Dawudi berkata: "Menjauhkan diri (dengan anggapan hal itu lebih baik, Pent) dari dispensasi yg diberikan Rasulullah merupakan dosa besar. Sebab ia memandang dirinya lebih bertakwa kepada Allah daripada RasulNya. Ini jelas sebuah penyimpangan. ”

Ibnu Hajar menyatakan: “Tidak syak lagi (mengenai) kesesatan orang yg meyakini demikian (meyakini bahwa hal itu lebih baik). " (Lihat Fathul Bari karangan Ibnu Hajar).

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, mendadak Beliau melihat tali yg terulur antara dua tiang. Nabi bertanya: "Tali apakah ini?” Jawab mereka: "Tali kepunyaan Zainab. Kalau ia merasa letih berdiri dalam shalat, maka ia berpegangan dengannya. " Maka Nabi bersabda:

حُلُّوْهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ

Lepaskanlah tali itu, hendaklah salah seorang dari kamu mengerjakan shalat saat bersemangat. Dan jika ia merasa malas, maka hendaklah ia berbaring terlebih dulu. " (Muttafaqun 'alaihi)

Dalam kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk ke dalam rumah. Di dalamnya ada seorang wanita. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: "Siapakah dia?" 'Aisyah berkata: "Dia adalah si Fulanah yg sedang menceritakan tentang shalatnya," maka Nabi berkata:

مَهْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيْقُوْنَ، فَوَاللهِ لاَ يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوْا

Cukup, hendaklah kalian menjalankan ibadah sesuai dg kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tdk akan jemu menerima amal ibadah kalian sehingga kalian sendiri yg merasa jemu beramal. " (Muttafaqun 'alaihi)

Nabi mengecam kedua wanita itu karena melampaui batas & keluar dari batas keseimbangan. Tentu saja, memaksakan diri beribadah diluar kemampuan fisik dapat menimbulkan kejenuhan & kebosanan, yg pd akhirnya ia tdk mau melakukannya kembali. Disamping itu, tubuh akan lemah & tdk mampu lagi mengerjakan amalan-amalan lain yg barangkali lebih penting. Maka dari itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan bagi yg mengantuk agar tidur terlebih dulu, setelah itu baru mengerjakan shalat.

Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَعِسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ؛ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لاَ يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

Jika salah seorang diantara kalian mengantuk sedangkan ia tengah mengerjakan shalat, hendaklah ia tidur sampai rasa kantuknya hilang. Sebab, apabila salah seorang diantara kalian mengerjakan shalat ketika mengantuk, maka dia tdk sadar barangkali ia bermaksud memohon ampun, tetapi ia malah mencaci dirinya sendiri. (Muttafaqun 'alaihi)

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berkhutbah, mendadak Beliau melihat seorang lelaki berdiri. Nabi bertanya: "Siapakah yg berdiri itu?" Orang-orang menjawab: "Abu Israail. Dia bernadzar akan berdiri di panas terik matahari, tdk duduk, tdk berteduh, tdk berbicara & puasa. " Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

مُرُوْهُ فَلْيَتَكَلّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

Suruhlah ia berbicara & berteduh, & silahkan ia meneruskan puasanya. (HR Al Bukhari).

Dalam hadits lain yg diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab As Sunan, dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu , ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

Janganlah kamu memberatkan dirimu sendiri, sehingga Allah akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara & rumah-rumah peribadatan. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah (mengucilkan diri utk beribadah saja), padahal Kami tdk mewajibkannya atas mereka. (HR Abu Dawud)

Begitulah kondisinya, bila sudah melewati batas keseimbangan, bisa menimbulkan mudharat (bahaya) terhadap diri sendiri, bahkan juga terhadap orang lain. Seperti dialami oleh Ummu Darda' Radhiyallahu 'anha ketika Salman –yang telah dipersaudarakan oleh Nabi dg Abu Darda'- berkunjung ke rumah Abu Darda'.

Dilihatnya Ummu Darda' mengenakan pakaian kerja, maka Salman bertanya: "Ada apa denganmu?"
Dia menjawab: "Saudaramu, Abu Darda', tdk punya lagi keinginan terhadap dunia. "
Kemudian Abu Darda' datang & menghidangkan makanan untuknya. Lalu Abu Darda' berkata kepadanya: "Makanlah kamu! Karena aku sedang berpuasa. "
Salman berkata: "Aku tdk akan makan sehingga kamu turut juga makan. " Maka Abu Darda' pun makan.
Setelah malam tiba, Abu Darda' bangun malam. Lalu Salman berkata kepadanya: "Tidurlah," maka Abu Darda' pun kembali tidur.
Setelah itu ia bangun lagi, Salman berkata: "Tidurlah!" Kemudian pd akhir malam Salman berkata: "Sekarang bangunlah!"
Kemudian keduanya mengerjakan shalat. Selanjutnya Salman berkata: "Sesungguhnya Rabb-mu mempunyai hak, dirimu pun punya hak, & keluargamu juga mempunyai hak. Oleh karena itu, tunaikan setiap hak kepada pemiliknya. "
Kemudian Abu Darda' menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam & menceritakan peristiwa tersebut kepada Beliau. Maka Nabi pun bersabda: "Salman benar!" (HR Al-Bukhari)

Kisah ini banyak mengandung hikmah. Sekaligus menunjukkan kedalaman fiqh (pengetahuan agama) Salman Al Faarisi Radhiyallahu 'anhua. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membenarkan kata-katanya. Coba perhatikan kejelian Salman dalam menempatkan tiap-tiap hak secara proporsional, sehingga tdk bertabrakan dg hak-hak yg lain. Sungguh ini adalah pemahaman yg sangat mendalam.

Kesuksesan, kebahagiaan & keberhasilan dalam urusan akhirat maupun dunia tergantung dg cara kita menempatkan setiap hak secara proporsional menurut pandangan syariat yg hanif (suci) & fitrah ini. Karena setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan & keberatan yg akan menghalangi tercapainya tujuan.

Sekarang mari kita lihat keadaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau adalah manusia biasa yg normal & memiliki hasrat terhadap makanan, minuman, wanita, parfum & hal-hal baik lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mencari nafkah, berjalan di pasar & bermua'alah dg manusia lainnya. Suatu perkara yg sempat dipertanyakan oleh orang-orang musyrik seperti yg Allah sebutkan dalam Al Qur'an.

وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ ۙ لَوْلَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا

Dan mereka berkata: "Mengapa Rasul ini memakan makanan & berjalan di pasar-pasar? Mengapa tdk diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dg dia. (Al Furqaan: 7).

Betapa indah uraian yg disajikan oleh Al Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah tentang petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal makanan dg keterangan berikut ini:
"Petunjuk Beliau dalam hal makanan, adalah Beliau tdk menolak makanan yg terhidang, & tdk mencari-cari makanan yg tdk ada. Beliau akan memakan setiap makanan halal yg disodorkan kepada Beliau; kecuali makanan yg tdk menarik hati Beliau, (maka) Beliau tinggalkan makanan itu tanpa mengharamkannya. Sedikit pun, Beliau tdk pernah mencela makanan. Jika berselera, Beliau memakannya. Jika tidak, Beliau tinggalkan. Sebagaimana Beliau menolak memakan biawak, karena tdk terbiasa memakannya, namun tdk Beliau haramkan atas umat. Justru hidangan biawak tersebut disantap di hadapan Beliau, sementara Beliau melihatnya. Beliau gemar makan manis-manisan & madu. Beliau juga suka makan daging unta, kambing, ayam, burung, keledai liar, kelinci, makanan laut (sea food). Beliau juga suka makan daging bakar, makan kurma segar & kurma kering. Beliau menyenangi minum susu murni ataupun campuran. Beliau juga menggemari makan gandum bercampur madu dg air, minum perasan air kurma, khazirah (yaitu kuah-kuahan / sop yg terbuat dari susu & gandum). Beliau juga makan mentimun dg kurma, keju, kurma dg roti, roti dg kuah cuka, tsarid (yaitu roti kuah bercampur daging), roti dg ahaalah (yaitu lemak yg dicairkan). Beliau juga makan sate hati, dendeng, labu. Beliau sangat menggemari labu. Beliau juga menyukai makan masluqah (yaitu rebus-rebusan sayuran), tsarid dg minyak samin. Beliau suka mentega, roti dg minyak zaitun, semangka dg kurma. Beliau sangat suka makan kurma dg mentega. Beliau tdk pernah menolak makanan yg baik-baik, & tdk juga meminta yg tdk ada. Namun petunjuk Beliau dalam hal ini, ialah memakan makanan yg tersaji. Jika tdk ada, maka bersabar. Hingga Beliau pernah mengikat perut dg batu karena menahan lapar. Pernah berlalu selama tiga bulan, tungku dapur dalam rumah beliau tdk menyala sama sekali. Saat safar, beliau biasa makan secara lesehan di atas tanah, itulah meja hidangan beliau. Beliau membiasakan makan dg tiga jari & menjilatinya setelah selesai. Begitulah cara makan yg paling mulia. Karena


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

"BAGIE YANG MAU REQUEST........
"TULIS COMMENT ANDA....